Pendahuluan
Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari keanekaragaman flora dan fauna yang ada untuk dipergunakan sebagai bahan baku berbagai kebutuhan hidupnya. Semakin maju manusia di dunia maka semakin beragam pula kebutuhan hidupnya, sehingga memerlukan lebih banyak bahan baku yang berasal dari kedua komponen tersebut. Dewasa ini kepen-tingan ekonomi sering tidak sejalan dengan usaha pelestarian lingkungan atau keaneka-ragaman hayati., sehingga salah satu dari kedua aspek tersebut sering dikorbankan. Oleh kare-nanya perlu dicari solusi yang dapat memadukan kedua aspek tersebut agar keduanya dapat berjalan bersama-sama. Potensi tradisional mas-yarakat desa sekitar hutan yang merupakan praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung secara turun temurun dilak-sanakan dalam kehidupan masyarakat desa yang menunjang kehidupannya yang secara langsung maupun tidak langsung menunjang konservasi keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Potensi tradisional tersebut dapat dijadikan pijakan dalam usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan yang sekaligus dapat pula dipakai sebagai sarana konservasi keane-karagaman hayati. Dalam tulisan ini dipaparkan secara singkat potensi tradisional yang terdapat pada suku Benuaq dan Tunjung yang hidup di pedalaman Kalimantan Timur.
Beberapa potensi tradisional masyarakat desa sekitar hutan khususnya Dayak Benuaq dan Tunjung yang dapat dipakai sebagai pijakan pemberdayaan ekonomi dan yang mendukung konservasi keanekaragaman hayati dipaparkan secara singkat di bawah ini.
1. Kebun buah tradisional (simpukng atau
munan)
Kebiasaan penduduk desa Benuaq dan Tunjung menanam buah-buahan disekitar rumah atau pondok di ladang telah berlangsung turun temurun sehingga disekitar maupun di dalam desa banyak sekali terdapat kebun buah tradisional yang lazim disebut munan atau simpukng. Simpukng atau munan tersebut mengandung berbagai jenis pohon buah untuk sebagai bahan makanan ataupun untuk dijual pemiliknya. Disamping buah-buahan terdapat juga beberapa jenis kayu non buah yang sengaja dibiarkan dengan maksud untuk dapat diambil kayu ataupun getahnya atau kegunaan lain. Sarjono (1990) mencatat sebanyak 127 jenis dari 35 suku tumbuhan berkayu baik yang ditanam maupun yang dipelihara dalam lembo, dimana 90 % adalah pohon dan perdu sedang sisanya adalah bambu, pallem dan tanaman berkayu lainnya. Matius dkk (1994) yang meneliti beberapa kebun buah tradisional tua diMencimai mencatat sebanyak 25 jenis buah lokal dan 22 jenis tumbuhan berkayu non buah, dimana strukturnya berlapis seperti hutan alam primer. Luas bidang dasar rataan sebesar 37.05 m2 per ha dan volume kayu bebas cabang sebesar 287.0391 m3 per ha yang dapat dianggap sebanding sebanding dengan hutan alam primer. Jadi munan dapat juga sebagai sumber kayu pertukangan.
2. Kebun rotan tradisional (kebotn we)
Kebiasaan menanam rotan pada lahan bekas ladang telah dilakukan oleh beberapa suku Dayak Benuaq dan Tunjung, juga Ben-tian dan Pasir., de-ngan maksud agar hasil panennya da-pat diperdagangkan ataupun dipakai un-tuk keperluan pem-buatan alat-alat tra-disional seperti ti-kar, anjat, kiang dan lain sebagainya. Je- nis-jenis rotan yang biasa ditanam karena mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi adalah Calamus caesius (rotan sega), Calamus trachycoleus (rotan jahab, irit), seletup (Cala-mus optimus), Daemonorops crinita (rotan pulut merah, jepung), Calamus pinicillatus (rotan pulut putih) dan Calamus muricatus (kehes)(Matius, 1982 dan Matius, 1988) Disamping itu satu sampai dua batang Calamus manan umumnya ditanam di kebun buah tradisional sebagai penghasil buah dan batangnya untuk keperluan bingkai peralatan tradisional.Rotan tidaklah dapat tumbuh sendiri karena rotan merupakan palem pemanjat, yang memerlukan pohon-pohon sebagai penunjang. Oleh karenanya di areal kebun rotan juga tumbuh berbagai jenis pohon, serta semak dan perdu di bawahnya, sehingga merupakan satu kesatuan komunitas flora yang beraneka ragam, dengan struktur vertikal yang berlapis seperti pada hutan alam.
3. Areal pohon madu (Tanyut, kelatn)
Pemeliharaan pohon untuk tempat bersa-rangnya lebah madu adalah kebiasaan tradisional yang dimiliki oleh suku Dayak Benuaq dan Tun-jung. Pohon-pohon yang biasa dipelihara sebagai pohon madu adalah Koompassia excelsa (bange-ris, kayu raja, puti,), Dryobalanops spp (kapur), Shorea laevis (bengkirai), Ficus albifila (bilaas), Canarium pseudo-decumanum (jelmu) atau jenis-jenis po-hon besar lainnya yang percabangan-nya memenuhi sya-rat. Pemeliharaan pohon madu biasanya diikuti oleh pemeli-haraan sebidang hu-tan disekelilingnya dengan maksud un-tuk menghindari po-hon tersebut dari kebakaran, maupun untuk memudahkan me-manjat pohon tersebut, yang biasanya bekisar antara satu sampai beberapa hektar. Hutan tersebut tidak boleh diladangi selama pohon madu tersebut masih hidup. Di dalam hutan tersebut tumbuh berbagai jenis pohon hutan maupun tumbuhan bawah, yang secara tidak langsung merupakan cadangan plasma nutfah bagi lahan sekitarnya.
4. Pengetahuan tentang jenis, habitat, sifat dan kegunaan flora dan fauna
Umumnya kita berpandangan bahwa orang desa adalah orang yang tidak-tahu apa-apa atau bodoh, namun pandangan tersebut hanya sedikit kebenarannya. Masyarakat desa adalah suatu masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam hutan, sehingga mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan hutan. Masyarakat membutuhkan lahan hutan untuk perladangannya, dan berdasarkan pengalaman yang turun-temurun masyarakat bisa membe-dakan mana lahan yang relatif subur ataupun tidak subur. Tanpa pendidikan formal masya-rakat desa tersebut telah dapat membuat indikator-indikator untuk menentukan kesuburan tanah ladang, maupun membagi jenis-jenis tanah secara tradisional. Keakrabannya dengan hutan menyebabkan mereka mampu mengenal jenis-jenis tumbuhan obat, tumbuh-tumbuhan peng-hasil makanan, tumbuhan beracun, kayu yang cukup kuat dan awet serta hewan-hewan yang dapat dimakan dan untuk obat baik secara alami maupun supra alami (supra natural). Dengan pengalaman yang turun-temurun bergaul dengan hutan tentu didapat berbagai pengetahuan ten-tang sifat hutan, flora, fauna, tanah dan alam sekitarnya sehingga dari pengetahuan dan pe-ngalaman tersebut terbentuklah apa yang sering kita dengar sebagai kearifan tradisional.
5. Keahlian membuat alat-alat tradisional
Masyarakat tradisional Benuaq dan Tun-jung membuat peralatan rumah tangga sendiri seperti peralatan dapur, pertanian, pakaian, alat berburu dan menangkap ikan, upacara ritual, kesenian, hiasan-hiasan dan sebagainya. Peralat-an tersebut dibuat dari kayu, rotan, serat sulur-suluran dan herba jenis-jenis tertentu. Alat untuk menugal (membuat lubang tanam misalnya dibuat dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), tempat benih (bisatn, barakng) dibuat dari ro-tan. Sedang untuk bahan pakaian yang terkenal disebut ulap doyo dibuat dari serat daun doyo (Curculigo spp) dan baju jomoq dari kulit kayu jomoq (Artocarpus elasticus) dan racun sumpit diambil dari getah upas (Antiaris toxicaria). Contoh-contoh di atas menunjukkan setiap jenis tumbuhan mempunyai fungsi tertentu bagi mas-yarakat desa, sehingga sebenarnya kehidupan mereka tergantung dari keanekaragaman jenis flora maupun fauna.
6. Hutan desa (bengkar)
Beberapa kelompok suku atau desa se-cara tradisional mengalokasikan hutan primer yang ada disekitar desanya sebagai hutan desa untuk berbagai keperluan seperti bahan ba-ngunan, obat-obatan, areal berburu dan se-bagainya. Contoh-contoh yang penulis ketahui tentang hutan desa yang ada disekitar Keca-matan Barong Tongkok dan Damai adalah di desa Keay (hutan Menteniq), Engkuni dan Eheng (Hutan Lungau) dan Mencimai (hutan Belekang-kokng). Hutan desa tersebut tentu saja me-ngandung banyak sekali jenis-jenis flora mau-pun fauna, sehingga secara langsung merupakan wadah konservasi flora dan fauna setempat yang beraneka ragam, termasuk di dalamnya berbagai jenis Dipterocarpa. Pengelolaan hutan desa ini perlu lebih disempurnakan sehingga lebih dapat menunjang kebutuhan ekonomi mas-yarakat disamping mempertahankan keaneka-ragaman hayati yang ada.
1. Kebun buah tradisional (simpukng atau
munan)
Kebiasaan penduduk desa Benuaq dan Tunjung menanam buah-buahan disekitar rumah atau pondok di ladang telah berlangsung turun temurun sehingga disekitar maupun di dalam desa banyak sekali terdapat kebun buah tradisional yang lazim disebut munan atau simpukng. Simpukng atau munan tersebut mengandung berbagai jenis pohon buah untuk sebagai bahan makanan ataupun untuk dijual pemiliknya. Disamping buah-buahan terdapat juga beberapa jenis kayu non buah yang sengaja dibiarkan dengan maksud untuk dapat diambil kayu ataupun getahnya atau kegunaan lain. Sarjono (1990) mencatat sebanyak 127 jenis dari 35 suku tumbuhan berkayu baik yang ditanam maupun yang dipelihara dalam lembo, dimana 90 % adalah pohon dan perdu sedang sisanya adalah bambu, pallem dan tanaman berkayu lainnya. Matius dkk (1994) yang meneliti beberapa kebun buah tradisional tua diMencimai mencatat sebanyak 25 jenis buah lokal dan 22 jenis tumbuhan berkayu non buah, dimana strukturnya berlapis seperti hutan alam primer. Luas bidang dasar rataan sebesar 37.05 m2 per ha dan volume kayu bebas cabang sebesar 287.0391 m3 per ha yang dapat dianggap sebanding sebanding dengan hutan alam primer. Jadi munan dapat juga sebagai sumber kayu pertukangan.
2. Kebun rotan tradisional (kebotn we)
Kebiasaan menanam rotan pada lahan bekas ladang telah dilakukan oleh beberapa suku Dayak Benuaq dan Tunjung, juga Ben-tian dan Pasir., de-ngan maksud agar hasil panennya da-pat diperdagangkan ataupun dipakai un-tuk keperluan pem-buatan alat-alat tra-disional seperti ti-kar, anjat, kiang dan lain sebagainya. Je- nis-jenis rotan yang biasa ditanam karena mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi adalah Calamus caesius (rotan sega), Calamus trachycoleus (rotan jahab, irit), seletup (Cala-mus optimus), Daemonorops crinita (rotan pulut merah, jepung), Calamus pinicillatus (rotan pulut putih) dan Calamus muricatus (kehes)(Matius, 1982 dan Matius, 1988) Disamping itu satu sampai dua batang Calamus manan umumnya ditanam di kebun buah tradisional sebagai penghasil buah dan batangnya untuk keperluan bingkai peralatan tradisional.Rotan tidaklah dapat tumbuh sendiri karena rotan merupakan palem pemanjat, yang memerlukan pohon-pohon sebagai penunjang. Oleh karenanya di areal kebun rotan juga tumbuh berbagai jenis pohon, serta semak dan perdu di bawahnya, sehingga merupakan satu kesatuan komunitas flora yang beraneka ragam, dengan struktur vertikal yang berlapis seperti pada hutan alam.
3. Areal pohon madu (Tanyut, kelatn)
Pemeliharaan pohon untuk tempat bersa-rangnya lebah madu adalah kebiasaan tradisional yang dimiliki oleh suku Dayak Benuaq dan Tun-jung. Pohon-pohon yang biasa dipelihara sebagai pohon madu adalah Koompassia excelsa (bange-ris, kayu raja, puti,), Dryobalanops spp (kapur), Shorea laevis (bengkirai), Ficus albifila (bilaas), Canarium pseudo-decumanum (jelmu) atau jenis-jenis po-hon besar lainnya yang percabangan-nya memenuhi sya-rat. Pemeliharaan pohon madu biasanya diikuti oleh pemeli-haraan sebidang hu-tan disekelilingnya dengan maksud un-tuk menghindari po-hon tersebut dari kebakaran, maupun untuk memudahkan me-manjat pohon tersebut, yang biasanya bekisar antara satu sampai beberapa hektar. Hutan tersebut tidak boleh diladangi selama pohon madu tersebut masih hidup. Di dalam hutan tersebut tumbuh berbagai jenis pohon hutan maupun tumbuhan bawah, yang secara tidak langsung merupakan cadangan plasma nutfah bagi lahan sekitarnya.
4. Pengetahuan tentang jenis, habitat, sifat dan kegunaan flora dan fauna
Umumnya kita berpandangan bahwa orang desa adalah orang yang tidak-tahu apa-apa atau bodoh, namun pandangan tersebut hanya sedikit kebenarannya. Masyarakat desa adalah suatu masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam hutan, sehingga mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan hutan. Masyarakat membutuhkan lahan hutan untuk perladangannya, dan berdasarkan pengalaman yang turun-temurun masyarakat bisa membe-dakan mana lahan yang relatif subur ataupun tidak subur. Tanpa pendidikan formal masya-rakat desa tersebut telah dapat membuat indikator-indikator untuk menentukan kesuburan tanah ladang, maupun membagi jenis-jenis tanah secara tradisional. Keakrabannya dengan hutan menyebabkan mereka mampu mengenal jenis-jenis tumbuhan obat, tumbuh-tumbuhan peng-hasil makanan, tumbuhan beracun, kayu yang cukup kuat dan awet serta hewan-hewan yang dapat dimakan dan untuk obat baik secara alami maupun supra alami (supra natural). Dengan pengalaman yang turun-temurun bergaul dengan hutan tentu didapat berbagai pengetahuan ten-tang sifat hutan, flora, fauna, tanah dan alam sekitarnya sehingga dari pengetahuan dan pe-ngalaman tersebut terbentuklah apa yang sering kita dengar sebagai kearifan tradisional.
5. Keahlian membuat alat-alat tradisional
Masyarakat tradisional Benuaq dan Tun-jung membuat peralatan rumah tangga sendiri seperti peralatan dapur, pertanian, pakaian, alat berburu dan menangkap ikan, upacara ritual, kesenian, hiasan-hiasan dan sebagainya. Peralat-an tersebut dibuat dari kayu, rotan, serat sulur-suluran dan herba jenis-jenis tertentu. Alat untuk menugal (membuat lubang tanam misalnya dibuat dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), tempat benih (bisatn, barakng) dibuat dari ro-tan. Sedang untuk bahan pakaian yang terkenal disebut ulap doyo dibuat dari serat daun doyo (Curculigo spp) dan baju jomoq dari kulit kayu jomoq (Artocarpus elasticus) dan racun sumpit diambil dari getah upas (Antiaris toxicaria). Contoh-contoh di atas menunjukkan setiap jenis tumbuhan mempunyai fungsi tertentu bagi mas-yarakat desa, sehingga sebenarnya kehidupan mereka tergantung dari keanekaragaman jenis flora maupun fauna.
6. Hutan desa (bengkar)
Beberapa kelompok suku atau desa se-cara tradisional mengalokasikan hutan primer yang ada disekitar desanya sebagai hutan desa untuk berbagai keperluan seperti bahan ba-ngunan, obat-obatan, areal berburu dan se-bagainya. Contoh-contoh yang penulis ketahui tentang hutan desa yang ada disekitar Keca-matan Barong Tongkok dan Damai adalah di desa Keay (hutan Menteniq), Engkuni dan Eheng (Hutan Lungau) dan Mencimai (hutan Belekang-kokng). Hutan desa tersebut tentu saja me-ngandung banyak sekali jenis-jenis flora mau-pun fauna, sehingga secara langsung merupakan wadah konservasi flora dan fauna setempat yang beraneka ragam, termasuk di dalamnya berbagai jenis Dipterocarpa. Pengelolaan hutan desa ini perlu lebih disempurnakan sehingga lebih dapat menunjang kebutuhan ekonomi mas-yarakat disamping mempertahankan keaneka-ragaman hayati yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Pesan